Pages

Sunday, 19 September 2010

anak asu

Jalinan rerumputan itu bagaikan tempat bermain baginya. Setapak sempit yang harus dia lalui setiap berangkat sekolah. Ilalang kanan kiri, melewati pagar yang berlubang, menyusuri pinggiran tanaman kacang yang masih hijau kerdil. Tak hiraukan apapun selain menikmati panasnya mentari di ubun ubun. Dia mainkan pasir pasir merah sepanjang jalan dengan sepatu bututnya sambil terus menggumam 'Nama saya Muhammad Faizal Zamroni.. Saya lahir di Semarang tanggal 17 Desember 1989.. Saya tinggal di jalan Candi Tembaga selatan 3 nomor 952..'.

Ahmad kecil tak takut jika sewaktu waktu ada ular di depan atau preman yang merampas semua isi tasnya. 'Buat apa? Tasku isinya gak ada apa apanya kok. Duit jajanku ntar di bapak abis aku nyampe warung..' begitulah selalu alasannya. Lugu, sama seperti ketika dia bilang 'Aku pengen jadi Ksatria Baja Hitam! Hehehehe..' ketika ditanya tentang cita cita. Ya, dia hanyalah seorang bocah 7 tahun yang siang ini akan memulai hari pertamanya di kelas 3 SD. Seorang bocah yang hanya takut akan satu hal di dunia ini: mulut bapaknya yang terbuka.

Ketika sang bapak telah menatapnya dengan mendelik dan mulai membuka mulut, itu tanda bagi Ahmad untuk menundukkan kepala. Salah atau benar, benar atau salah, itu bukan alasan untuk tidak menerima amarah bapaknya. Dia tak mengerti mengapa bapak dan ibunya sering sekali marah, berteriak, memaki maki 'Dasar anak nakal!..' kepadanya. Yang Ahmad tahu semua itu terjadi biasanya setelah adik atau temannya menangis di dekatnya. Dia akan diseret pulang ke rumah dan sabetan sisir rambut sudah menunggunya. Tiap sabetan semakin membuatnya tambah iri jika melihat seorang bapak bisa bercanda ria dengan anaknya seperti yang sedang dia saksikan sekarang ketika berhasil susah payah keluar dari lubang pagar di belakang TK. Islamic Centre.

Dari Pasadena ke warung bapaknya di jalan Abdurrahman Saleh memang paling dekat bila berjalan menembus rerumputan di belakang bekas TKnya dulu itu. Setelah itu dia hanya perlu berjalan keluar kompleks, biasanya bersama anak anak TK yang pulang, untuk menuju warung bapaknya di pinggir jalan. Namun kali ini dia tak langsung bergegas, matanya masih tertuju pada bapak anak tadi yang hanya berjarak 5 meter di depan. Mereka adalah pasangan bapak anak yang terlihat paling jelas olehnya di antara rombongan jemputan lain. Dia heran mengapa seorang bapak bisa bercanda dengan anaknya. Baginya sudah terpatri panas bahwa seorang bapak itu adalah laki laki penguasa yang tugasnya bekerja di warung dan marah marah.

Si bapak dan anak laki lakinya yang daritadi merasa diperhatikan lama oleh Ahmad tiba tiba mendekat.

'Temennya Raka ya?' Si bapak bertanya.

'Nggak kok..' jawab Ahmad pendek.

'Masnya sekolah dimana?..' Tanya si bapak lagi.

'SD Kalibanteng Kidul..'

'Jauh yaa.. Lha masnya namanya siapa?..'

'Nama saya Muhammad Faizal Zamroni.. Saya lahir di Semarang tanggal 17 Desember 1989.. Saya tinggal di jalan Candi Tembaga selatan 3 nomor 952..' seketika itu Ahmad merasa perlu mempraktekan apa yang terus dia hafalkan di perjalanan tadi. Calon gurunya kelas 3 nanti sudah mewanti wanti saat penerimaan rapot kenaikan kelas 2 kemarin agar tiap anak harus bisa menghafalkan nama, tempat dan tanggal lahir serta alamat rumahnya masing masing untuk perkenalan pada hari pertama. Demi mendengar si Ahmad yang menjawabnya dengan sangat komplet, bapak anak itu pun tertawa. Si bapak menawarinya tumpangan hingga gerbang keluar TK. Ahmad tak bisa menolak meski jalan aspal dari tempatnya sekarang berpijak hingga gerbang hanya berjarak puluhan meter. Dan ketika turun di gerbang, tak lupa dia menghaturkan terima kasih 'Matur nuwun, Pak..'.

Sampailah Ahmad kecil di warung bapaknya yang sederhana. Jarum jam dia lihat telah menunjukkan pukul 12.25, 5 menit lagi kelas di mulai. 'Pak, jajan..' pintanya pada bapak. 'Ntar! gak lihat masih jualin?..' bentak sang bapak dan Ahmad pun memilih tak memperpanjang masalah. Dia menunggu hingga bapaknya selesai melayani pembeli sambil memainkan undur undur di depan warung. Banyak sekali lubang undur undur disana terutama di bawah pohon besar depan warung. Dia mainkan lubang lubang itu dengan batang korek api hingga undur undurnya keluar, dia ambil dan dia kumpulkan dalam wadah tutup oli kecil. Di bawah pohon besar rindang, di pingir bisingnya lalu lalang kendaraan, sendiri menikmati dunianya. Jika beruntung, Ahmad kadang menemukan onggokan karton atau gabus bekas di tempat sampah di bawah pohon itu untuk dijadikan mainan dengan bentuk bentuk yang lucu.

Lama dia bermain sampai teriakan di belakang mengagetkannya 'Woy!! Jam berapa ini??..'. 'Sudah jam 1 belum ke sekolah! Goblok..' bentak bapaknya lagi. Ahmad hanya bisa tertunduk lesu. 'Malah mainan tanah kotor gini! Mau jadi apa kamu, ha??..'Teriak si bapak sambil menyeret tangan Ahmad yang memang kotor dengan debu pasir. 'Udah telat! Kotor kayak gini juga! Gak usah berangkat sekolah aja sekalian!..' Ancam bapak. Mendengar itu, Ahmad yang daritadi diam langsung memelas 'Jangan to, Pak.. Mau sekolah.. Mau sekolah..'. Kemudian dengan reflek dia usapkan tangannya yang berdebu ke celana sekolahnya sambil meminta lugu 'Jajannya, Pak.. Mau berangkat sekolah..'. 'Goblok! Malah dilapin ke celana! Tambah kotor to yaa.. Dasar anak asu gak tahu diuntung!'. Bapak menyeretnya masuk ke dalam warung dan menyabetkan sisir merah panjang ke paha Ahmad sambil tetap mengomel. Ahmad menangis mengiba iba 'Jangan, Pak.. Jangan, Pak..' memohonan agar bapaknya berhenti menyabetnya seperti kesetanan. Pelanggan pelanggan yang baru datang hanya bisa diam melihat Ahmad diperlakukan seperti itu.

'Ayo bapak seberangin. Naik daihatsu terus bilang maaf telat sama bu guru!' perintah bapak ketika usai menghajar Ahmad. Ahmad berjalan menunduk digandeng oleh bapaknya. Dia malu dilihat oleh banyak orang dengan matanya yang sembab dan paha memerah.

Sebuah angkot berhenti di depan mereka. Bapak memasukkan Ahmad ke dalam dan langsung membayar si supir sambil memberitahu tujuan anaknya. Sejurus kemudian bapak kembali ke warung. Setelah angkot berjalan beberapa meter, Ahmad mendengar si supir bergumam 'Sialan, aku kira bapaknya ikut. Dapet dikit tok to..'. Ahmad yang tertunduk malu diperhatikan orang orang dalam angkot melirik tajam menahan jengkel ke si supir. Perasaannya campur aduk ditambah benci, dendam dan kesedihan luar biasa. Puncaknya, ketika Ahmad baru sadar jika bapak lupa memberinya uang jajan. Bagaimana dia bisa membayar angkot pulang? Kaget dan pecahlah tangis yang dia coba tahan selama di angkot tadi. Orang orang kebingungan melihatnya. Ada yang bertanya, tapi lebih banyak yang membiarkan.

Akhirnya, dia berada di depan ruang kelas. Pintunya yang tertutup membuatnya semakin berat untuk masuk. Namun dia juga tak bisa pulang ke rumah. Dia ketuk 3 kali dan langsung membuka daun pintu jati itu. Kelas yang ramai gelak tawa tiba tiba terdiam melihat seorang anak dengan baju lusuh dan bekas tangis di pipi. Semuanya benar benar terdiam agak lama. Bu guru dengan sabar menghampirinya mempersilahkan masuk dan bertanya mengapa Ahmad menangis. Ahmad hanya mmenjawab 'Telat sih, Bu..'.

'Ya gak apa dong telat. Masa telat harus nangis? Gak apa kok.. Sini sini, gak apa.. Jangan nangis ya..'

'Iyaa, Bu..'

'Kamu kelas berapa? Bener kelasnya ini?..'

'Kelas 3, Bu.. Bener..'

'Oh ya sudah.. Ibu nggak inget anak anaknya kemaren pas terima rapot kelas 2. Kan baru, hehe.. Udah sini jangan nangis..'

Wajahnya seperti ingin mengatakan lebih dari itu, Bu Sri tahu. Beliau tak ingin membuat Ahmad semakin sedih, dia sungkan bertanya lebih jauh. Ahmad sendiri tak berani menatap mata gurunya maupun melihat wajah teman teman. Berdiri di depan dengan kondisi seperti itu pada hari pertama masuk kelas 3 adalah begitu sempurna hancurnya bagi dia. Setelah inipun dia tak tahu harus pulang ke rumah dengan cara apa.

Meskipun dari pertama tadi Ahmad tahu kalau guru barunya ini adalah seorang yang sabar, tetap dia takut. Demi dedaunan yang jatuh setiap waktu, apa yang bisa dilakukan seorang bocah 7 tahun dengan keadaan seperti itu? Dia hanyalah anak manis yang ingin belajar. Suatu hari jika dia sudah pintar dan menjadi Ksatria Baja Hitam, Dia ingin menghajar semua orang yang berani memakinya dan dengan Belalang Tempur dia pergi naik haji. Itu yang selalu ada di benaknya, apalagi yang bisa dia lakukan? Dia hanyalah anak manis yang ingin belajar.

'Sudah.. Sudah.. Sekarang kamu perkenalan dulu di depan kelas. Tadi temen temenmu sudah..'

'Iya, Bu..' Ahmad menjawab dengan berat. Perasaannya masih hancur lebur, menahan perih di dada. Seperti dia tak pantas lagi menjadi Ksatria Baja Hitam setelah kejadian kejadian memalukan ini. Ahmad marah, marah pada bapak, marah pada pelanggan yang melihatnya dihajar, marah pada tukang angkot yang mengomel, marah pada orang orang di angkot yang membiarkannya, marah pada semuanya. Hafalan hafalannya hilang berganti angkara murka dan mungkin dendam hingga tua nanti.

'Jangan diam dong. Kenalin kamu siapa..'

'Ya, Bu..'

'Iya tu ngomong dong..'

'Ya, Bu.. Saya anak asu..'

5 comments:

  1. seneng bgt baca yg ini, baca berkali-kali jg gak bosan .. akhir cerita nya bikin kaget .. pokoknya :thumbup:

    ReplyDelete
  2. kisah yg menyentuh...tiba2 keluar air mata...T_T

    ReplyDelete
  3. si ahmad gak punya ibu ya?

    ReplyDelete
  4. punya kok
    cuman gak diceritain aja. lebih pada hubungan si ahmad sama bapaknya..

    ReplyDelete

thanks for the comment...