Ini bukan tentang berapa minimal gajiku saat memutuskan untuk menikah kelak. Tapi bagaimana aku dan istriku nanti membangun keluarga kami dari nol. Aku tak ingin karena masing masing dari kami sudah membawa kekayaan sendiri sendiri maka kami menjadi saling egois. Aku tak ingin istriku merasa tak memerlukanku karena sudah punya pekerjaan mapan sendiri, begitu juga sebaliknya. Dan jika semua itu terjadi, perpisahan ada di depan mata. Itu tak ubahnya pasangan yang sekedar pacaran...
Aku ingin kami merangkak bersama dari ketiadaan. Jerih payah, pahit dan bahagia dalam membangun keluarga akan semakin membuat kami merasa dekat. Ketika istriku putus asa pada hubungan kami, aku ingin dia mengingat segala usaha kami dulu dan berpikir dua kali untuk mengambil keputusan yang gegabah. Begitu juga sebaliknya aku. Tapi bukan berarti aku akan menggantungkan diri kepadanya. Aku tetap imam, kepala rumah tangga dan pencari nafkah. Istriku kelak tetap sebagai semangat, keluargaku sebagai tujuan.
Aku tak ingin salah satu di antara kami merasa paling bisa tanpa yang lainnya. Aku adalah dia, dia adalah aku, kami adalah atom atom yang bersatu.
Pernah aku bertanya pada seorang teman seperti tadi 'Menurutmu berapa minimal gaji yang cocok untuk mulai menikah?'. Dia hanya menjawab 'Menikah saja dulu. Setelah itu pintu rejeki akan terbuka. Lagipula, apa kamu mau menikah sendiri? Kan ada istrimu...'. Pernyataan yang biasa saja. Namun menjadi luar biasa ketika yang menjawab itu adalah temanku yang anak dari pasangan pengusaha jati kaya dan PNS. Aku berharap hitungan angka yang keluar dari bibirnya, tapi ternyata malah sebuah nasehat menusuk. Dia lebih suka naik motor hasil tabungannya sendiri padahal ditawari bapaknya sebuah mobil. Dia bilang jika dia tak ingin dilihat oleh perempuan dari materinya. Dia yang sering bercerita tentang susah payah bapaknya meraih semua ini berawal dari berjualan minyak keliling. Dia adalah Dakocan.
Lain lagi cerita tentang pamanku, adik ibuku. Dulu dia hanya seorang sopir dan kuli di toko bahan bangunan milik bapakku. Pernah suatu ketika diminta oleh pacarnya keluar dari pekerjaan itu, entah karena malu atau dirasa tak menjanjikan. Dia tak mau dan si pacar meninggalkannya. Berbagai pekerjaan sambilan pun pernah dilakoninya termasuk menjadi tukang ojek. Kini dia beristrikan keponakan seorang bupati. Istrinya, seorang sarjana, dulu sering menemaninya jaga toko bangunan. Tak malu menikahi pamanku yang bahkan aku tak tahu riwayat pendidikannya. Sebagian besar keluarganya tak menyetujui hubungan mereka, tentu saja. Terlebih karena tanteku itu anak tunggal. Tapi kalian tak akan percaya jika melihat 2 toko bangunan dan 1 kafenya sekarang. Itu juga tanpa modal apapun kecuali ilmu dagang dari kerja di bapak dan menghutang banyak. Sebuah Jazz dan APV adalah bukti kesuksesannya, belum termasuk beberapa mobil operasional toko lainnya. 2 anaknya masih kecil kecil, cerdas dan mainannya laptop, bukan layangan atau mainan anak remeh temeh lainnya.
Itu 10 tahun yang lalu. Waktu yang sangat singkat untuk membalas penolakan dengan kesuksesan luar biasa. Aku hanya sedikit tahu tentang bagaimana sakitnya ditolak karena materi dan pendidikan, pamanku mungkin mengalami lebih.
Kalian tahu bagian paling indah dari semua ini? Rasa saling menghargai dalam keluarga. Karena mereka tahu, tak mudah untuk mendapatkan sesuatu. Semakin mudah didapatkan, semakin mudah pula hilangnya...
Mencari pasangan hidup itu tidak sama dengan mencari pacar. Kamu tak harus mencari yang terbaik, tapi menciptakan kebaikan...
No comments:
Post a Comment
thanks for the comment...