Pages

Sunday, 19 September 2010

dolphino #2: paul's story

Aku dan Kancil nunggu si Paul agak lama. Katanya di telepon tadi, dia masih bayar PLN. Wow, orang asing yang taat pajak. Sampe akhirnya dia datang bawa tas plastik berisi makanan ikan. Apakah dia pelihara belut listrik di rumah?

Aku kenalin dia sama Kancil. Paul kemudian pesen makanan, kita nunggu lagi. Nah, pas si doi pesen itu, Kancil dimisscall bapaknya suruh pulang. Pulanglah dia. Mampuslah aku. Ngadepin orang asing sendirian malem malem abis kecolongan hape. Kalo Paul nyulik aku kan aku gak ada alat komunikasi apa apa...

Dia duduk di depanku abis pesen nasi, ayam dan french fries. Aku plester lubang pantat.

'Is that your girlfriend?', Paul mulai pembicaraan. Aku kaget karena dia tanya itu.

'Mmm... No.. I meant she is a GIRL and she is my FRIEND...', jawabku ngasal. Kelihatan ngeles banget gak seehhh??

'Oh..', jawabnya simpel. Entah ‘oh’nya itu tanda lega kalau aku masih jomblo apa gimana. Aku pegang celana erat erat.

Dia terus tanya tentang hapeku. Ya aku bilang bahwa ini bukan soal hapenya tapi data data yang ada di dalamnya. Nomer telepon, sms sms, video syurku sama mpok Nori... Terutama foto fotoku sama Kancil yang belom sempet aku back up di laptop sejak kita pertama deket dulu. Semuanya gak bakal bisa tergantikan. Termasuk juga gimana aku harus kerja ngumpulin duit sedikit demi sedikit buat beli tuh hape.

Aku terus gantian tanya tentang dirinya. Dia bilang kalo dia sendirian di Indonesia. Orang tuanya adalah imigran Sri Lanka yang belajar di Kanada. Paul lahir di Kanada, jadi dia punya kewarganegaraan Kanada juga. Tapi dia kuliah di Sri Lanka dan bekerja di luar Kanada karena katanya sangat minim kesempatannya untuk memperoleh pekerjaan disana. Istrinya adalah seorang dokter bedah jantung di India. Paul udah beberapa kali kerja di berbagai negara, sebelumnya dia kerja di Mauritius. Dan karena kesibukan masing masing itu, dia jarang sekali bertemu dengan istrinya yang tentunya sama sama sibuk sebagai seorang dokter bedah. Dia hanya bertemu istrinya sekali setahun pas Idul Fitri. Bukan karena dia seorang muslim, dia Budha, tapi karena kebanyakan negara meliburkan pekerjanya hari itu. Pernah suatu ketika istrinya bertugas di Singapura dan akan terbang ke Amerika Serikat. Istrinya menelepon Paul untuk menemaninya selama 14 jam penerbangan Singapura-AS. Udah kebayang gimana sibuknya-plus kangennya-mereka. Tapi Paul saat itu nggak bisa.

'So, do you have a child?', tanyaku sambil tetep ngunyah chicken fillet.

'No...', ujarnya sederhana.

'Why?'

'What's for?'

Aku rada kaget dengan jawabannya. Dia bilang bahwa tak ada gunanya ada anak jika tak ada yang 'melihat'. Aku rada bingung dengan istilah 'melihat'. Mungkin maksudnya gak ada orang yang tahu dia punya anak atau nggak, secara dia tinggal jauh dari istri dan keluarganya yang lain. Jadi, dia bersikap masa bodoh.

'So, what's your income for? Your wife got her own money, anyway...', lanjutku lebih jauh. I think it’s getting excited.

'Can you kill your self?'

'What?...'

'You can't kill yourself, can you?'

'Of course'

'I can't kill myself. I've to keep earning money so I can keep alive. And when it's time for me to retire, I got my money to travel around the world. To enjoy my life...'. Dari cara bicaranya, dia udah yakin dengan semua itu. Entah. Masih kedengeran asing di telingaku meski tiap kuliahku dijejali tentang American dream.

'But no one will remember you. I mean... after you die, there's no child to take your name.' Bahasanya rada kacau, maksudku: ‘kamu nggak punya anak untuk meneruskan usahamu’.

'I don't need to be remembered. As far as I can make everyone happy...', jawabnya lagi. Tegas. Bikin aku mikir sejenak apa tujuan sebenernya manusia hidup, aku hidup.

Alasan lain kenapa dia nggak pengen punya anak yaitu dia takut anaknya tidak tumbuh dengan baik dengan kondisi orang tuanya yang bekerja terpisah jauh antar negara. Dia tak ingin anaknya diasuh hanya oleh salah satu dari mereka. Makanan ikan yang dia barusan beli adalah bukti individualismenya, dimana dia lebih memilih memelihara ikan daripada anak. Ya, ternyata makanan ikannya gak dia makan sendiri. Aku salah.

'You don't want your child to bother you?...', ujarku ngelanjutin obrolan.

'That's one of them...'

'Fish can just die. You need more than a fish. I mean children...', nasehatku. Kayak aku udah pernah ngelahirin aja. Bukan, membuat hamil deng!

'I don't need...'. Dia masih kekeuh.

Dia masih aja ngeyel, sialan. Karena rada jengkel dan pengen tahu, aku tanya sesuatu yang mungkin rada private 'So, why did you marry your wife?'. Aku nggak berharap buat dijawab. Tapi dia bilang 'It's my parents...'. Dan seketika itu pikiranku kayak di-refresh, kembali lagi bercermin pada apa yang baru baru aja terjadi padaku: masalah perjodohannya gebetan. Dia bilang kalo pernikahannya adalah keinginan kedua orang tuanya, apalagi dia anak satu satunya. Dia dinikahkan ketika sedang belajar di Sri Lanka. Jadi, dia ke India selama seminggu hanya untuk menikah dan kemudian balik lagi ke Sri Lanka untuk nerusin studinya. Dimana mana... Nggak di Indonesia, nggak di Sri Lanka... Orang tua masih aja sulit untuk menyadari bahwa anak kecilnya udah tumbuh dewasa dan bisa diajak berbicara...

'Do you love your wife?'. Gak tahu darimana tiba tiba pertanyaan itu melantur.

'Of course!', dia jawab dengan pasti. Thanks God ternyata dia bukan seperti yang aku kira. Aku kendorin ikat pinggang biar celana rada lega.

'But what's for if you can't enjoy the marriage with your wife?'

'I know...'

'It's just a status!'

'Yeah... It's just a status...'

Aku mulai ngerasa dia enak diajak ngobrol. Bukan lagi kayak om om gembira berusia 40 tahun dengan cowok peliharaannya. Tapi kayak temen. 'It's rare to see someone like you', katanya ke aku. Dia cerita lagi kalo temen temennya di kantor dan sekelilingnya kebanyakan bukan honest men. Pernah suatu ketika pas dia sakit selama dua minggu di RS Telogorejo, temen temennya malah nipu duitnya. Belom ditambah supirnya yang suka bocorin privasinya ke temen temen di kantor. Ini aja dia ke Citraland sendirian, sementara mobil dan supirnya dia tinggal di depan HSBC. Dia takut supirnya bilang bilang lagi ke semua orang.

'Is there any Sri Lanka people here too?'

'Yes, one... But, he has a different mind.' Mungkin maksudnya 'pemikiran yang berbeda'.

Kasihan Paul, sendirian di Indonesia dan dikelilingi orang orang yang senang memanfaatkannya. Aku ajak dia jalan jalan muter muter Citraland dan Matahari. Sempet juga pas lihat konter konter hape Matahari, dia minta aku tunjukin jenis hapeku yang hilang. Dia bilang bakal bantu aku. Hati ini udah seneng banget, ada tambahan duit buat beli hape baru. Tapi pulangnya abis kita nonton 'Prince of Persia', I feel like I don’t need his money. Untuk bertemu seseorang yang bisa menyadarkanku bahwa masih ada yang lebih 'rumit' masalahnya daripada aku adalah cukup. Seperti bercermin pada diriku yang dulu ketika ngobrol dengannya: bahwa hidup itu buat dijalani, bukan buat dipikirin.

Enjoy aja kalo sekarang hape ilang, pasti ada gantinya lagi...

Kita pisah di Baiturrahman. Aku naik Kabuto, pulang'. Sekarang jadi rada lega dan bisa tidur tanpa pikiran jenuh. Thanks juga buat Kancil yang tiba tiba sms nomernya Paul pas kita lagi nonton: Maaf... Apakah Arif sudah pulang?. Aku tahu dia khawatir banget, haha... Sehari kemudian, aku nguras tabungan buat beli pengganti dolphino. Tapi kali ini gak pake nyesel.

Nice to meet you Paul...

No comments:

Post a Comment

thanks for the comment...